Sebagai seorang perantau di ibukota, salah satu prinsip yang kujalani sekarang adalah berusaha bersikap baik dengan orang lain khususnya yang sehari-hari aku kenal seperti teman kerja atau tetangga. Kenapa? Karena kalau aku atau keluargaku di Jakarta ada apa-apa, merekalah, khususnya tetangga, orang yang paling pertama akan kumintai tolong. Yang perantauan pasti paham sekali hal ini. Kadang justru ada orang lain yang tak berikatan darah, lebih dekat dengan kita dibanding saudara yang masih dalam satu silsilah keluarga.
Saat hamil dan menjalani sesi hypnobirthing dulu, salah satu solusi yang diberikan coach-ku agar selalu nyaman ketika sendirian di rumah adalah berbaik hati dengan tetangga. Aku yang saat itu selalu takut kalau ditinggal suami keluar kota atau kerja, pertama kali harus meminta tolong tetangga terlebih dahulu kalau terjadi apa-apa kayak pendarahan atau jatuh. Tetangga bisa jadi seperti ibu, ayah, kakak, kakek, atau bahkan nenek di perantauan. Mereka tak berikat darah tetapi bisa jadi lebih dekat dari saudara sedarah. Seperti halnya yang terjadi dalam cerita film Ali & Ratu Ratu Queens ini. Sebuah film yang menceritakan tentang ‘orang lain rasa ibu dan ibu rasa orang lain’.
Sinopsis Ali & Ratu-Ratu Queens
Ali merupakan pemuda yang polos dan baru lulus SMA. Setelah ditinggal meninggal sang ayah, ia bertekad untuk mencari ibunya yang sudah belasan tahun merantau ke Negeri Paman Sam demi meraih mimpi. Berbekal uang saku dari keluarga dan uang sewa rumahnya yang dikontrakan, Ali pergi ke Amerika Serikat sendiri. Bermodal alamat tempat tinggal lama sang ibu, Ali pun optimis bisa langsung bertemu dan melepas rindu dengan ibunya.
Sayangnya, ketika sampai di alamat yang dituju Ali justru tak menemukan sang ibu. Mia (Marissa Anita), sang ibu, sudah pindah lama dari apartemen tersebut. Party (Nirina Zubir) yang dulu adalah roomate Mia, kini justru tinggal bersama para perempuan imigran dari Indonesia di daerah Queens. Mereka adalah Biyah (Asri Welas), Chinta (Happy Salma), dan Ance (Tika Panggabean).
Karena belas kasihan dan menampung Ali merupakan salah satu cara untuk menambah modal usaha rumah makan mereka, Ali pun diperbolehkan tinggal di apartemen Queens. Sambil tinggal di sana, Ali mencari ibunya dibantu oleh para tante yang lama-kelamaan jadi sahabat sekaligus ibu pengganti baginya selama di Amerika.
Ali keukeuh ingin terus mencari ibunya hingga ketemu walaupun sang budhe (Cut Mini) sudah memberikan ultimatum untuk pulang dalam 2 minggu dan menganggap ibunya sudah mati. Namun, Ali nggak menyerah. Sambil mencari ibunya, ia bekerja serabutan membantu pekerjaan para tante.
Tanpa harus penuh drama pencarian yang njlimet, Ali pun akhirnya bertemu sang ibu. Sayangnya, keadaan sang ibu kini jauh berbeda. Bahkan sang ibu terkesan menyembunyikannya dari circle pergaulannya di sana. Hal inilah yang juga membuat para tante di apartemen Queens kecuali Party tidak menyukai Mia karena terkesan membuang anaknya. Namun, Mia juga punya alasan lain di balik semua perbuatannya selama ini.
Lalu apakah Ali bisa berkumpul kembali dengan sang ibu seperti yang ia impikan selama ini? Mampukah Ali membujuk ibunya untuk kembali ke Indonesia dan hidup bersama layaknya sebuah keluarga?
Review Ali & Ratu Ratu Queens
Sebelum me-review film ini, aku mau bersyukur dulu karena akhirnya bisa nonton film Indonesia lagi. Setelah pandemi, rasanya aku jauuuuhhh banget dari film-film Indonesia dan beralih ke drakor sama drachin. Untunglah sekarang platform VOD udah banyak menayangkan premier film Indonesia. Thanks to Netflix!
[irp posts=”8″ name=”Dating In The Kitchen, Bikin Pengen Punya Sugar Daddy?”]
Jujurly, aku nggak punya ekspektasi apa-apa pas nonton film ini. Makanya terasa lebih ringan ketika ceritanya agak ya begitulah, kadang bikin jidat berkerut karena banyak bertanya-tanya.
Okeh, mari kita bedah satu per satu (biar kayak reviewer profesional, haha).
Karakter 4 orang anggota apartemen Queens ini berbeda-beda tapi yang pasti cerita mereka menggambarkan kerasnya kehidupan pekerja migran Indonesia yang tinggal di negara adidaya tersebut. Apalagi mereka kebanyakan bekerja di sektor informal. Kadang, aku sampai bertanya-tanya kok bisa mereka yang kerjanya cuma begini bertahan di New York. Karena di bayanganku, buat nyewa apartemen aja pasti nggak murah dan apartemen mereka 4 kamar pulak.
Party kerjanya cuma PRT panggilan, Chinta adalah tukang pijat, Ance merupakan trader saham, sedangkan Biyah kerjanya serabutan. Hampir semua pekerjaan mereka bisa dibilang kelas bawah. Namun, mereka masih bisa patungan dan punya dana simpanan buat buka restoran. Sebenarnya 4 orang perempuan ini punya latar belakang dan karakter yang unik. Hanya saja entah kenapa kok menurutku kurang digali. Bahkan hanya latar belakang Biyah saja yang dijelaskan mengapa ia sampai bisa terdampar di New York.
Kalau soal akting, pemeran 4 ratu Queens ini sudah nggak perlu ditanyakan lagi. Bisa dibilang mereka adalah artis-artis veteran film Indonesia yang bukan baru akting 1-2 film saja. Nirina Zubir yang beberapa kali berperan sebagai seorang ibu yang bijak, dapat banget ketika karakternya adalah seorang penolong. Tingkah Asri Welas yang kocak dengan logat medoknya cocok banget buat karakter perempuan Jawa Timuran yang bonek alias bondo nekad ditambah ia di sini juga sebagai pemecah suasana dengan humor-humornya. Tika Panggabean yang notabene orang Batak memang pas buat karakter temperamental. Sementara Happy Salma apik memerankan Chinta yang centil.
Selain 4 perempuan di atas, Marissa Anita yang berperan sebagai Mia Harrington juga berperan dengan baik. Awalnya aku sempat ragu dengan Marissa Anita karena menurutku terlalu kemudaan buat jadi ibunya Ali. But, no. Semua itu dijawab dengan ekspresi-ekspresi wajahnya yang pas. Kaget dan kalut saat Ali muncul di rumahnya, penuh cinta dan haru biru saat bersama Ali, dan bahkan ekspresi nggak nyaman saat diundang di apartemen Queens. Satu yang mencuri perhatian juga adalah pelafalan Bahasa Inggris Marissa Anita yang fluent bisa jadi menunjukkan betapa lamanya dia sudah berada di Amerika.
Sementara untuk Iqbaal Ramadhan, entah kenapa kalau melihat dia akting, aku rasanya terperangkap dalam sosok Dilan. Karakter Dilan seperti belum lepas dari Iqbaal. Kalau nontonnya merem aja, ini tuh Dilan banget. Kalau sambil melek, kelihatan beda dari style dan gaya rambut Iqbaal. Mungkin Iqbaal harus ambil treatment yang berbeda di setiap film agar karakter Dilan lepas, entah itu dari tone suara, gaya, nada bicara, atau apapun itu. Seperti yang konon dilakukan Reza Rahardian agar bisa melepas dan membedakannya dari karakter lain yang dia mainkan di film-film sebelumnya.
Selain Iqbaal, aku juga geregetan banget sama Aurora Ribero. Sebelumnya aku pernah lihat akting Aurora di film Susah Sinyal yang memerankan anak SMA dan itu lumayan bagus. Kalau di film ini entah kenapa kelihatan canggung dan kaku padahal dia gadis yang besar di Negeri Paman Sam. Aku justru malah membayangkan Cinta Laura yang pede dan ceria saat dia ngomong dengan aksen Inggris dan muka bulenya. But, mungkin kalau disandingkan dengan Iqbaal dan harus berperan sebagai anak kuliahan, Cinta Laura udah nggak begitu pantas.
Dari segi cerita, kukira film ini akan berkisah tentang Ali yang ‘berpetualang’ di New York dan berakhir dengan bertemu ibunya lalu mereka happily ever after. Ternyata nggak.
Pas Ali sudah ketemu ibunya bahkan belum memasuki setengah bagian film, aku sempat melongo dan ngebatin “Hah, beneran nih udah begini aja ketahuan di mana ibunya? Kok nggak asyik amat, kurang teka-tekinya”.
Tapi dasar aku yang pikirannya terlalu mainstream karena sebenarnya pesan yang pengen disampaikan film ini adalah tentang arti keluarga, bukan teka-teki pencarian seorang ibu. Entah kenapa, Gina S. Noer akhir-akhir ini filmnya suka memuat pesan tentang hubungan keluarga, antara orang tua dan anak. Seperti halnya film Dua Garis Biru.
Sayangnya selain latar belakang 4 ratu Queens yang kurang digali, penyebab Mia ke Amerika juga minim diceritakan. Aku hanya tahu Mia ingin mengejar impiannya sebagai penyanyi di New York. Entah kenapa menurutku kurang ngena. Sebagai seorang ibu, rasanya kurang worth it kalau Mia hanya ingin mengejar impian (yang aku yakini saat itu dia belum ada koneksi dan hanya modal nekad) sampai meninggalkan suami dan anaknya ke New York.
Bukannya aku perempuan yang nggak setuju melihat perempuan lainnya mengejar mimpi. Nggak, sama sekali nggak. Tapi ini New York lho nggak main-main, bukan cuma Korea, Jepang, atau Singapura yang masih sama-sama Asia. Yang ditinggalkan pun keluarga, anak dan suami. Dan lagi nggak diceritakan kemampuan menyanyi Mia kayak apa, yang bisa dipastikan dia modal nekat banget.
Akan lebih masuk akal kalau selain pengen mengejar impian, Mia ke New York juga sebagai bentuk pelarian karena ayah Ali dan keluarganya yang terlalu mengungkung. Karena di sini diceritakan keluarga besar Ali sangat agamis sedangkan Mia berpikiran menjadi ibu nggak membuatnya harus mengubur impiannya. Jadi ketika ke New York, ia juga punya misi membebaskan dan menjadi diri sendiri.
Aku paling suka kalau Ali sudah berinteraksi dengan para 4 tante ini. Aura kekeluargaannya tuh ngena banget. Selain cerita Ali bersama para tante dan ibunya, film ini juga dibumbui kisah asmara Ali dan Eva (Aurora Ribero) yang manis dan memiliki porsi yang pas.
[irp posts=”102″ name=”You are My Hero, Kisah Cinta Pekerja Kemanusiaan”]
Sayangnya, menurutku banyak hal yang terlihat terlalu digampangkan di film ini. Kayak kepergian Ali ke Amerika sendiri padahal notabene dia modal nekat ke Amerika, dengan biaya yang pas-pasan dan pengalaman bepergian yang minim. Belum lagi Ali yang dengan gampang bisa berkuliah di Amerika. Karena gampangnya ini, jadi terkesan semacam sedikit menjual mimpi tentang hidup di negeri adidaya itu.
Tapi melalui film ini, New York di mataku jadi nggak semenakutkan yang ada di bayangan. Anggapan “Ah Ali aja yang polos bisa survive di New York, kok’ jadi tertanam di benak. Tapi di sisi lain, New York yang sibuk tak pernah tidur dengan orang-orang yang berjalan cepat di dalamnya, punya sisi kehangatan yang lain yang ditunjukkan oleh 4 perempuan imigran Indonesia ini.
Lalu ada pula plang ‘ONE WAY’ yang banyak ditemukan di New York bisa dimaknai berbeda pada setiap orang. Di mataku, one way bisa jadi New York adalah gambaran sebuah kota di mana orang bisa menjadi dirinya sendiri. One way juga bisa diartikan tiap orang punya tujuan dan rencana bersama orang lain tetapi belum tentu orang lain sepaham dengan tujuan dan rencananya. One way bisa diartikan sangat subjektif bagi tiap orang, seperti halnya review film ini pasti di mata setiap orang akan berbeda kesannya.
Melalui film ini pula aku merasa makna women emporement yang sangat ngena. Masing-masing karakter perempuan imigran ini punya perjuangannya sendiri-sendiri untuk bertahan hidup. Mereka juga punya impian di masa tuanya. Pun dengan Mia yang walaupun saya kurang setuju sisi dia yang meninggalkan keluarga dan terkesan egois, tapi di lubuk hatinya sebenarnya dia punya mimpi besar untuk sukses. Hanya saja, nasib berkata lain.
Untuk yang pengen mencari tahu makna keluarga lebih luas lagi, film ini aku rekomendasikan buat jadi tontonan. Sebagai seorang ibu, aku pun bisa mengerti kegelisahan Mia. Pun sebagai anak, aku bisa mengerti kerinduan Ali. Sekarang tinggal kalian yang menonton bagaimana akan memaknai kisah Ali, ratu-ratu Queens, dan juga Mia.